Entri Populer

Senin, 17 Januari 2011

Muamalah


BERBAGI  ILMU


          Dibandingkan pengurangan, penambahan, dan pengalian, pembagian merupakan hal yang paling sulit dilakukan. Pembagian yang dimaksud disini bukan seperti pada pelajaran berhitung di sekolah, melainkan pada kehidupan sehari-hari manusia sebagai makhluk sosial. Secara alami, manusia memiliki naluri untuk berbagi. Berbagi cerita adalah contoh mudahnya. Lain lagi jika itu adalah kekayaan, karena manusia cenderung pelit. Alasannya, tidak lain, karena khawatir kekayaan itu akan berkurang jumlahnya.
           Dua macam kekayaan yang terdapat pada diri manusia mencakup kekayaan materiil dan kekayaan intelektual. Tentang berbagi kekayaan materi, Allah mewajibkan kaum Muslimin berderma dan berinfak kepada sesame. “Dan, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hartamu yang Dia telah jadikan kamu penguasanya (amanah). Maka, orang-orang yang beriman di antara kamu dan menginfakkan (hartanya di jalan Allah)( memperoleh pahala yang besar.” (QS Alhadid[57]:7).
           Bahkan, untuk urusan yang penting bagi kehidupan manusia, misalnya makan, kita diperintahkan untuk berbagi. Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah bersabda, “Makanan untuk dua orang, cukup untuk tiga orang. Makanan tiga orang, cukup untuk empat orang.” (Hadis Mutafaq ‘Alaih).
           Sementara itu, kekayaan intelektual (baca: ilmu) merupakan sesuatu yang lebih berharga dibanding kekayaan materiil. Kekayaan intelektual mencakup seluruh ilmu, baik ilmu yang diperlukan untuk mencapai kemaslahatan di dunia (ilmu umum) maupun ilmu yang mengatur cara-cara penghambaan kepada Allah (ilmu syariat).
           Tentang berbagi ilmu ini, Allah telah memerintahkan kaum Muslimin untuk melaksanakannya. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW, “Orang yang terbaik diantara kalian adalah orang yang mempelajari Al Qur’an dan mengajarkannya.” (HR Al Bukhari dari Utsman bin Affan RA).
           Tentu saja, berbagi ilmu sesuai dengan kemampuan tidak lepas dari aktivitas menuntut ilmu. Sehingga, berbagi ilmu yang dilakukan dapat dipertanggungjawabkan. Maka dari itu, Allah memerintahkan kita semua untuk menuntut ilmu.
           Jelas sekali bahwa berbagi termasuk yang diperintahkan Allah kepada kita semua. Memang tidak mudah melakukannya apalagi ketika diri sendiri ditimpa kekurangan. Namun, Allah telah memberikan jaminan bertambahnya harta ataupun ilmu  yang kita bagi itu dengan sesuatu yang terkadang tidak dapat diduga-duga. Inilah yang sering kali tidak diyakini oleh banyak orang. Sumber Hikmah Republika Oleh: Endah Nur Rohmi.

Ibadah


BAHAGIA  DAN  MULIA


            Pada suatu hari serombongan fakir miskin dari sahabat Muhajirin datang mengeluh kepada Rasulullah SAW, “Ya Rasulullah, orang-orang kaya telah memborong semua pahala hingga tingkat yang paling tinggi.”
            Nabi SAW bertanya, “Mengapa engkau berkata demikian?” Mereka menjawab, “Mereka shalat sebagaimana kami shalat, merekapu puasa sebagaimana kami puasa, mereka bersedekah sedangkan kami tidak bersedekah, dan mereka memerdekakan udak sedangkan kami tidak memiliki kemampuan untuk melakukannya>”
             Setelah mendenar keluhan orang fakir tadi, Rasulullah lalu bersabda, “Sukakah aku ajarkan kepadamu amal perbuatan yang dapat mengejar mereka dan tidak seorangpun yang lebih utama dari kamu, kecuali yang berbuat seperti perbuatanmu?” Dengan antusias mereka menjawab “Baiklah ya Rasulullah.” Kemudian Nabi SAW bersabda “Bacalah subhanallah, Allahu akbar, dan alhamdulillah setiap selesai shalat masing-masing 33 kali,”
            setelah menerima wasiat Rasulullah, mereka pun pulang ke rumah masing-masing untuk mengamalkannya. Tidak lama berselang, para fakir miskin itu kembali mengeluh kepada Rasulullah SAW, “Ya Rasulullah, saudara-saudara kami orang kaya mendengar perbuatan kami lalu mereka beruat sebagaimana perbuatan kami.”, maka nabi SAW bersabda, “Karunia Allah SWT diberikan kepada siapa saja yang ia kehendaki” (HR Bukhari).
             Perilaku si miskin dan si kaya yang kita dapati dalam hadis di atas sama-sama mulia. Keduanya memiliki sifat yang begitu mulia, saling berlomba dalam setiap kebaikan.
             Si kaya yang beruntung dengan dikarunia limpahan rezeki tidak menjadikannya bak si Qorun yang pongah dan bakhil. Ia sadar betul bahwa semua itu hanyalah titipan dari Allah SWT yang mesti dipergunakan di jalan yang semata-mata hanya untuk mencari keridhaanNya. Kekayaan tidak menjadikannya lupa daratan, namun menyadarkannya untuk lebih bederma karena di dalamnya begitu banyak hak orang lain yang mesti ditunaikan.
             Begitu pula dengan potret si miskin yang tidak mau kalah beramal, ia selalu mencari solusi untuk bersaing dengan sehat untuk mencari keunggulan dalam beribadah, sadar akan ketidakberuntungan materi tidak menjadikannya patah arang untuk memberikan pengabdian terbaik bagi Allah SWT.
             Menjadi kaya atau miskin tentu membutuhkan mental untuk menerima kenyataan. Namun, yang terpenting adalah kesiapan mempersembahkan yang terbaik bagi Allah SWT setelah diberi ketentuan satu di antara keduanya. Dengan begitu, ia akan menjadi pribadi yang bahagia dan mulia. Sumber dari Hikmah Republika oleh: Rita Zahara Nurliyah

Rabu, 12 Januari 2011

Tausiah


DERMAWAN


            Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa bersedekah dengan seharga kurma dari hasil yang baik (dan Allah tidak menerima sesuatu kecuali yang baik), sesungguhnya Allah akan menerimanya dengan tangan kananNya, kemudian Allah akan mengembangkannya sampai sebesar gunung sebagaimana salah seorang diantara kalian memelihara seekor kuda.” (HR Muslim).
             Bersedekah itu tidak harus menunggu kaya terlebih dahulu. Seberapa pun  harta yang kita miliki mestinya ada sebagian yang kita sedekahkan kepada orang lain.
             Ketika Rasulullah SAW melihat Bilal mempunyai simpanan makanan, seketika itu juga beliau bersabda kepada Bilal, “Hai Bilal, sedekahlah. Jangan sekali kali kamu takut bahwa Dzat yang bersemayam di ARsy akan melakukan pengurangan.” (HR Thabrani).
             Dengan meyakini bahwa harta yang kita miliki pada hakikatnya bukan milik kita, maka akan membuat kita ringan saat mengeluarkan dan membelanjakannya di jalan yang diridhai Allah. Orang yang rajin mendermakan hartanya di jalan Allah ia tidak akan menjadi miskin, sekalipun secara lahir hartanya berkurang, akan tetapi di balik itu semua Allah akan membukakan banyak pintu rezeki baginya dari arah yang disangka-sangka, bahkan di akhirat kelak Allah akan melipat gandakan pahalanya hingga tidak terkira.
             Dalam hadis lain Rasulullah SAW bersabda, “Harta tidak akan berkurang dengan disedekahkan,” Imam An-Nawawi menjelaskan, bahwa hadis ini mengandung dua pengertian. Pertama, sedekah itu diberkahi (di dunia) dan karenanya ia terhindar dari kemudharatan. Dan kedua, pahalanya tidak akan berkurang di akhirat, bahkan dilipatgandakan hingga kelipatan yang banyak.
             Adalah sahabat Rasulullah SAW, Utsman bin Affan, seorang sahabat mulia, yang terkenal sangat pemurah. Ia pernah memberikan seluruh barang yang dibawa kafilah dagangnya yang baru dating dari Syam untuk fakir miskin Madinah. Padalah. Saat itu banyak sekali pedagang yang menawarkan keuntungan berlipat dari biasanya. Tapi, Utsman memilih tawaran yang paling menggiurkan, ridha Allah.
             Semua orang pasti ingin hidup berkecukupan atau bahkan kaya. Namun, banyak yang keliru duga, ia mengira bahwa perbuatan kikir akan mengantarkannya menjadi seorang yang kaya raya. Padahal, itu logika setan saja.

“Setan menjanjikan (menakut-nakuti) kalian dengan kemiskinan dan menyuruh berbuat keji (kikir), sedangkan Allah menjanjikan ampunan dan karuniaNya kepada kalian. Dan Allah Mahaluas (karuniaNya) lagi Maha Mengetahui.” (QS Albaqarah[2]:268). Balasan yang lebih baik dari apa yang dikerjakan sewaktu di dunia.

            Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa bersedekah dengan seharga kurma dari hasil yang baik (dan Allah tidak menerima sesuatu kecuali yang baik), sesungguhnya Allah akan menerimanya dengan tangan kananNya, kemudian Allah akan mengembangkannya sampai sebesar gunung sebagaimana salah seorang diantara kalian memelihara seekor kuda.” (HR Muslim).
             Bersedekah itu tidak harus menunggu kaya terlebih dahulu. Seberapa pun  harta yang kita miliki mestinya ada sebagian yang kita sedekahkan kepada orang lain.
             Ketika Rasulullah SAW melihat Bilal mempunyai simpanan makanan, seketika itu juga beliau bersabda kepada Bilal, “Hai Bilal, sedekahlah. Jangan sekali kali kamu takut bahwa Dzat yang bersemayam di ARsy akan melakukan pengurangan.” (HR Thabrani).
             Dengan meyakini bahwa harta yang kita miliki pada hakikatnya bukan milik kita, maka akan membuat kita ringan saat mengeluarkan dan membelanjakannya di jalan yang diridhai Allah. Orang yang rajin mendermakan hartanya di jalan Allah ia tidak akan menjadi miskin, sekalipun secara lahir hartanya berkurang, akan tetapi di balik itu semua Allah akan membukakan banyak pintu rezeki baginya dari arah yang disangka-sangka, bahkan di akhirat kelak Allah akan melipat gandakan pahalanya hingga tidak terkira.
             Dalam hadis lain Rasulullah SAW bersabda, “Harta tidak akan berkurang dengan disedekahkan,” Imam An-Nawawi menjelaskan, bahwa hadis ini mengandung dua pengertian. Pertama, sedekah itu diberkahi (di dunia) dan karenanya ia terhindar dari kemudharatan. Dan kedua, pahalanya tidak akan berkurang di akhirat, bahkan dilipatgandakan hingga kelipatan yang banyak.
             Adalah sahabat Rasulullah SAW, Utsman bin Affan, seorang sahabat mulia, yang terkenal sangat pemurah. Ia pernah memberikan seluruh barang yang dibawa kafilah dagangnya yang baru dating dari Syam untuk fakir miskin Madinah. Padalah. Saat itu banyak sekali pedagang yang menawarkan keuntungan berlipat dari biasanya. Tapi, Utsman memilih tawaran yang paling menggiurkan, ridha Allah.
             Semua orang pasti ingin hidup berkecukupan atau bahkan kaya. Namun, banyak yang keliru duga, ia mengira bahwa perbuatan kikir akan mengantarkannya menjadi seorang yang kaya raya. Padahal, itu logika setan saja.

“Setan menjanjikan (menakut-nakuti) kalian dengan kemiskinan dan menyuruh berbuat keji (kikir), sedangkan Allah menjanjikan ampunan dan karuniaNya kepada kalian. Dan Allah Mahaluas (karuniaNya) lagi Maha Mengetahui.” (QS Albaqarah[2]:268). Balasan yang lebih baik dari apa yang dikerjakan sewaktu di dunia.